إِنَّ أَصْدَقَ الْحَدِيثِ كِتَابُ اللَّهِ وَأَحْسَنَ الْهَدْيِ هَدْيُ مُحَمَّدٍ وَشَرُّ الْأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا وَكُلُّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ وَكُلُّ ضَلَالَةٍ فِي النَّارِ (رواه النسائي

"Sebenar-benar perkataan adalah Kitab Alloh (Al-Quran), dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad dan seburuk-buruk perkara adalah perkara yang baru (muhdats), dan setiap perkara yang baru (muhdats) adalah bid'ah, dan setiap bid'ah adalah sesat, dan setiap kesesasatan tempatnya neraka"

Kamis, 23 Desember 2010

Imam Malik bin Anas Rohimahullah Ta'ala


Nama dan Nasab Beliau
Beliau adalah al-Imam Abu Abdillah, Malik bin Anas bin Malik bin Abu Amir bin Amr bin Harits bin Ghaiman bin Khutsail bin Amr bin Harits Dzu Ashbah bin Auf bin Malik bin Zaid bin Syaddad bin Zur`ah Himyar al-Ashghar al-Himyari kemudian al-Ashbahi al-Madani. Ibu beliau bernama Aliyah bintu Syarik al-Azdiyyah.
Kelahiran Beliau
Beliau dilahirkan pada tahun 93 H di Madinah

Sifat-Sifat Beliau
Beliau Rohimahullah berwajah tampan, berkulit putih kemerah-merahan, berperawakan tinggi besar, berjenggot lebat, pakaiannya selalu bersih, suka berpakaian warna putih, jika memakai ‘imamah (syal) sebagian diletakkan di bawah dagunya dan ujungnya diuraikan di antara kedua pundaknya. Beliau selalu memakai wangi-wangian dari misk (kasturi) dan yang lainnya.
Beliau tersohor dengan kecerdasan, keshalihan, keluhuran jiwa dan kemuliaan akhlaqnya.
Pertumbuhan Dan Guru-Guru Beliau
Beliau Rohimahullah menuntut ilmu ketika masih berusia belasan tahun. Ketika berusia 21 tahun beliau sudah mencapai tingkatan mufti yang boleh berfatwa dan memiliki majelis pengajian tersendiri. Banyak ulama yang mengambil ilmu riyawat dari beliau saat beliau masih begitu muda.
Banyak para penuntut ilmu dari berbagai penjuru datang kepada beliau pada akhir kekhalifahan Abu Ja`far al-Manshur dan bertambah banyak pada kekhalifahan Harun al-Rasyid hingga beliau wafat.
Beliau mengambil ilmu dari Nafi`, Maula Ibnu Umar, Sa`id al-Maqburi, Amir bin Abdullah bin Dinar dan banyak lagi selain mereka yang jumlahnya melebihi 1400 orang.
Murid-Murid Beliau
Di antara guru-guru beliau yang mengambil riwayat dari beliau adalah paman beliau Abu Suhail bin Abu Amir, Yahya bin Abu Katsir, az-Zuhri, Yahya bin Sa`id, Yazid bin Hadzai bin Abu Usainah, Umar bin Muhammad bin Zaid dan selain mereka.
Di antara murid-murid beliau adalah Ma`mar bin Rasyid, Ibnu Juraij, Abu Hanifah, asy-Syafi`i, Amr bin Harits, al-Auza`i, Syu`bah, Sufyan ats-Tsauri, Abdullah bin Mubarak, Abdul Aziz ad-Darawardi, Ibnu Abi Zinad, Ibnu Ulayyah, Yahya bin Abu Zaidah, Abu Ishaq al-Fazari, Muhammad bin Hasan asy-Syaibani, Abdurrahman bin Qasim, Abdurrahman bin Mahdi, Ma`n bin Isa, Abdullah bin wahb, Musa bin Thariq, Nu`man bin Abdussalam, Waki` bin Jarrah, Walid bin Muslim, Yahya al-Qaththan dan selain mereka.
Murid beliau yang terakhir meninggal adalah perawi kitab al-Muwaththa`, Abu Hudzafah Ahmad bin Isma`il as-Sahmi, dia hidup selama 80 tahun sepeninggal al-Imam Malik.
Hadist Yang Mengisyaratkan Tentang Keutamaan Beliau
Dari Abu Hurairah radhiyallahu anhu  bahwa Rasulullah Shallallaahu alaihi wa sallam bersabda, “Sungguh manusia akan menempuh perjalanan jauh untuk menuntut ilmu, maka mereka tidak mendapati seorang alim pun yang lebih berilmu dibandingkan dengan ulama Madinah.” (Diriyawatkan oleh Nasa`i dalam sunan kubra 2/489 dan Ibnu Abi Hatim dalam Taqdimatul Jarhwat Ta`dil hal.11-12 dan berkata adz-Dzahabi dalam siyar 8/56: hadist ini sanadnya bersih dan matannya gharib.
Abdurrazaq bin Hamman berkata, ”kami memandang bahwa dia adalah Malik bin Anas (yaitu dalam Sabda Rasulullah Shallallaahu alaihi wa sallam…. Mereka tidak mendapati seorang alim yang lebih berilmu dibandingkan dengan ulama di madinah.)”
Abdul Mughirah al-Makhzumi menyebutkan bahwa makna hadist di atas adalah selama kaum muslimin menuntut ilmu mereka tidak mendapati orang yang lebih berilmu dari pada ulama di Madinah.
Adz-Dzahabi berkata;”Tidak ada seorang ulama pun di Madinah setelah tabi`in yang menyerupai Malik dalam keilmuan, fiqh, keagungan dan hapalan.”
Fiqh dan Kelimuan Beliau
Al-Imam asy-Syafi`i berkata, “Seandainya tidak ada Malik dan Sufyan maka sungguh akan hilanglah ilmu Hijaz.”
Al-Imam asy-Syafi`i juga berkata, ”Muhammad bin Hasan sahabat Abu Hanifah berkata kepadaku, ’siapakah yang lebih mengetahui tentang al-Qur`an, sahabat kami (yaitu Abu Hanifah) atau sahabat kalian (yaitu Malik)? ’Aku berkata, ’secara adil?’ dia berkata, ’Ya.’ Aku berkata, ’Aku bertanya kepadamu dengan nama Allah, siapakah yang lebih mengetahui tentang al-Qur`an, sahabat kami atau sahabat kalian?’ Dia berkata, ’Sahabat kalian (yaitu Malik). ’Aku berkata, ’Siapakah yang yang lebih mengetahui tentang Sunnah, sahabat kami atau sahabat kalian?’ Dia berkata, ’Sahabat kalian (yaitu Malik). ’Aku berkata, ’Aku bertanya kepadamu dengan nama Allah, siapakah yang lebih mengetahui tentang perkatan para sahabat Rasulullah Shallallaahu alaihi wa sallam  dan perkataan para ulama terdahulu; sahabat kami atau sahabat kalian? ’Dia berkata, ’Sahabat kalian (yaitu Malik).” asy-Syafi`i berkata, ”Maka aku berkata, ’Tidak tersisa sekarang kecuali qiyas, sedangkan qiyas adalah analogi pada pokok-pokok ini, orang yang tidak tahu pokok-pokok ini, pada apa dia mengqiyaskan sesuatu?”
Abu Hatim ar-Razi berkata, ’Malik bin Anas adalah seorang yang tsiqah, Imam penduduk Hijaz, dia adalah murid Zuhri yang terdepan. Jika penduduk Hijaz menyelisihi Malik, maka yang benar adalah Malik.”
Al-Imam Ahmad bin Hanbal berkata, ”Malik bin Anas adalah manusia yang paling mantap dalam hadits.”
PENILAIAN ULAMA (TENTANG BELIAU)
Berkata Imam Syafi’i, “Jika disebut-sebut nama ulama, maka Imam Malik adalah bintangnya.”  Imam Syafi’I juga berkata, “ Kalau bukan karena (perantara) Imam Malik dan Ibnu Uyainah, niscaya akan hilang ilmu yang ada di Hijaz.”. Hingga seluruh penduduk Hijaz memberi beliau gelar “Sayyidi Fuqohal Hijaz”
Imam Yahya bin Sa’id al Qahthan dan Yahya bin Ma’in memberi beliau gelar “Amirul Mu’minin Fil Hadits.”
Ibnu Wahb berkata, “ Kalau bukan karena (perantara) Imam Malik dan Al Laih niscaya kita akan sesat.”
Berkata Abdurrahman bin Waqid, “Aku melihat pintu Malik di Madinah sperti pintu Amir.” Berkata Al La’nabi, “Ketika aku bersama Uyainah (telah sampai kepadanya berita tentang kematian Malik), dalam keadaan sedih beliau berkata, “Tidak ada seorang pun di muka bumi yang seperti beliau.”
Berkata Syu’bah, “ Saya datang ke Madinah setelah kamatian Nafi’ (ternyata sudah) ada halaqah Malik. Berkata Imam Syafi’I, “ Tidak kitab ilmu di bumi yang paling benarnya daripada kitab Al Muwaththo’ Imam Malik.”
Imam Bukhari mengatakan bahwa sanad yang dikatakan ashahhul asanid adalah sanad itu terdiri dari Malik, Nafi’, dan Ibnu Umar.
Kehati-hatian Beliau Dalam Berfatwa
Abu Mush`ab berkata, ”Aku mendengar Malik berkata, ”Aku berfatwa hingga 70 orang bersaksi bahwa aku layak berfatwa.”
Abdurrahman bin Mahdi berkata, ”Kami berada di sisi al-Imam Malik bin Anas, tiba-tiba datang seorang kepadanya seraya berkata, ’Aku datang kepadamu dari jarak 6 bulan perjalanan, penduduk negeriku menugaskan kepadaku agar aku menanyakan kepadamu suatu permasalahan.’ Al-Imam Malik berkata, ’Tanyakanlah!’ Maka orang tersebut bertanya kepadanya suatu permasalahan.
Al-Imam Malik menjawab, ’Aku tidak bisa menjawabnya.’ Orang tersebut terhenyak, sepertinya dia membayangkan bahwa dia telah datang kepada seseorang yang tahu segala sesuatu, orang tersebut berkata, ’Lalu apa yang akan aku katakan kepada penduduk negeriku jika aku pulang pada mereka?’ Al-Imam Malik berkata, ’Katakan kepada mereka, Malik tidak bisa menjawab.”
Khalid bin Khidasy berkata, ”Aku datang kepada Malik dengan membawa 40 masalah, tidaklah ia menjawabnya kecuali 5 masalah saja.”
Perhatian Beliau kepada Kitabullah
Khalid al-Aili berkata, ”Aku tidak pernah melihat seorang yang lebih memiliki perhatian kepada kitabullah dibandingkan Malik bin Anas.”
Abdullah bin Wahb berkata, ”Aku bertanya kepada saudara perempuan Malik bin Anas, ’Apakah kesibukan Malik di rumahnya.?” Dia menjawab, ’Mushaf dan tilawah.”
Tentang Akal dan Adab Beliau
Abdurrahman bin Mahdi berkata, ”Aku tidak pernah melihat ahli hadits yang lebih bagus akalnya dibandingkan Malik bin Anas.”
Abu Mush`ab berkata, ”Aku tidak pernah sekalipun mendengar Malik menyuruh orang berdiri, dia hanya berkata, ’kalau kalian menghendaki, kembalilah.”
Abdullah bin wahb berkata, ”Yang kami nukil dari adab Malik lebih banyak daripada yang kami pelajari dari ilmunya.”
Ittiba` Beliau kepada Sunnah
Abdullah bin Wahb, ”Aku mendengar Malik ditanya oleh seseorang tentang masalah menyela-nyela jari-jari kedua kaki ketika berwudhu, maka dia berkata, ”Hal-hal itu tidak disyari`atkan atas manusia.” Abdullah bin Wahb berkata, ”Aku biarkan dia sampai ketika sudah sepi dari manusia, aku katakan kepadanya, ’kami memiliki hadits tentang itu.’ Maka ia berkata, ’Apa itu?’ Aku berkata, ’Telah mengkabarkan kepada kami Laits bin Sa`ad, Ibnu Lahi`ah dan Amr bin Harits dari Yazid bin Amr Al-Ma`afiri dari Abu Abdirrahman a-Hubulli dari Mustaurid bin Syaddad al-Qurasyi, dia berkata, aku melihat Rasulullah Shallallaahu alaihi wa sallam menggosok sela-sela jari-jari kakinya dengan kelingkingnya.’ Malik berkata, ’Hadits ini Hasan, aku belum pernah mendengarnya kecuali saat ini. ”Abdullah bin Wahb berkata, ”Kemudian sesudah itu aku mendengar Malik ditanya tentang hal tersebut dan dia memerintahkan agar menyela-nyela jari-jari kaki ketika berwudhu.”
Diantara Perkataan-perkataan Beliau
Al-Imam Malik berkata, ”Ilmu tidak boleh diambil dari 4 orang: orang dungu yang menampakkan kedunguannya meskipun dia paling banyak riwayatnya, Ahli bid`ah yang mengajak kepada hawa nafsunya, orang yang biasa berdusta ketika bicara dengan manusia meskipun aku tidak menuduh dia berdusta dalam hadits dan orang shalih yang banyak beribadah jika dia tidak hafal hadits yang dia riwayatkan.”
Beliau berkata, ”Rasulullah Shallallaahu alaihi wa sallam dan para khalifah sesudah beliau telah membuat sunnah-sunnah, mengambil sunnah-sunnah tersebut adalah ittiiba` kepada kitabullah, penyempurna ketaatan kepada Allah dan kekuatan di atas agama Allah. Tidak boleh bagi seorang pun mengubah dan mengganti sunnah-sunnah tersebut dan melihat kepada sesuatu yang menyelisihinya. Orang yang mengambil sunnah-sunnah tersebut maka dialah orang yang mendapatkan petenjuk. Orang yang meminta pertolongan dengannya maka dia akan tertolong. Dan barangsiapa yang meninggalkannya maka dia telah mengikuti selain jalan orang-orang mu`min, Allah memalingkannya sebagaimana dia berpaling dan memasukkannya ke dalam jahanam yang merupakan sejelek-jelek tempat kembali.”
Al-Imam asy-Syafi`i berkata, ”Adalah al-Imam Malik jika didatangi oleh sebagian ahli bid`ah, dia mengatakan, ’Adapun aku maka berada di atas kejelasan agamaku. Adapun kamu maka seorang yang masih ragu, pergilah kepada orang yang ragu sepertimu dan debatlah dia.”
Ja`far bin Abdullah berkata, ”Kami berada di sisi Malik, lalu tiba-tiba datang seseorang yang berkata, ’wahai Abu Abdillah, Allah bersemayam di atas `Arsy,bagaimana istiwa` itu? tidaklah Malik marah dari sesuatu melebihi marahnya pada pertanyaan orang tersebut, dia melihat ke tanah dan menohoknya dengan batang kayu yang ada di tangannya hingga bercucuran keringatnya, kemudian dia mengangkat kepalanya dan membuang batang kayu tersebut seraya mengatakan,’Kaifiyyat (cara) dari istiwa` tidak diketahui, istiwa` bukanlah perkara yang majhul, iman kepada istiwa` adalah wajib dan bertanya tentang kaifiyyatnya adalah bid`ah dan aku menduga kamu adalah seorang ahli bid`ah.” Maka kemudian orang tersebut dikeluarkan dari majelis.
Aku tidak akan berfatwa sehingga ada 70 saksi yang mempersaksikan bahwa aku ahli (mengetahui) masalah tersebut.
Tidak ada seorang pun setelah Nabi yang berhak diambil dan ditinggalkan perkataannya kecuali Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
LARANGAN IMAM MALIK TERHADAP ILMU KALAM DAN BERDEBAT DALAM AGAMA
[1]. Imam Ibn ‘Abdil Bar meriwayatkan dari Mush’ab bin Abdullah bin az-Zubairi,
katanya, Imam Malik pernah berkata: “Saya tidak menyukai Ilmu Kalam dalam
masalah agama, warga negeri ini juga tidak menyukainya, dan melarangnya, seperti
membicarakan pendapat Jahm bin Shafwan, masalah qadar dan sebagainya. Mereka
tidak menyukai Kalam kecuali di dalam terkandung amal. Adapun Kalam di dalam
agama, bagi saya lebih baik diam saja. karena hal-hal di atas [Jami' Bayan al-'Ilm wa Al-Fadhilah, hal. 415]
[2]. Imam Abu Nu’aim juga meriwayatkan dari Abdullah bin Nafi, katanya, saya
mendengar Imam Malik berkata: “Seandainya ada orang melakukan dosa besar
seluruhnya kecuali menjadi musyrik. kemudian dia melepaskan diri dari
bid’ah-bid’ah Ilmu Kalam ini, dia akan masuk surga.” [Al-Hilyah, VI/325]
[3]. Imam al-Harawi meriwayatkan dari Ishaq bin Isa, katanya, Imam Malik
berkata, “Barangsiapa yang mencari agama lewat Ilmu Kalam ia akan menjadi kafir
zindiq, siapa yang mencari harta lewat Kimia, ia akan bangkrut, dan siapa yang
mencari bahasa-bahasa yang langka dalam Hadits (gharib al-Hadits) ia akan
bohong.”Dzamm Al-Kalam, lembar 173-B]
[4]. Imam al-Katib al-Baghdadi meriwayatkan dari Ishaq bin Isa, katanya, saya
mende-ngar Imam Malik berkata: “Berdebat dalam agama itu aib (cacat).” Beliau
juga berkata: “Setiap ada orang datang kepada kita, ia ingin berdebat. Apakah ia
bermaksud agar kita ini menolak apa yang telah dibawa oleh Malaikat Jibril
kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam?” [Syaraf ASh-hab Al-Hadits, hal. 5]
[5]. Imam al-Harawi meriwayatkan dari Abdur Rahman bin Mahdi, katanya, saya
masuk ke rumah Imam Malik, dan di situ ada seorang yang sedang ditanya oleh Imam
Malik: “Barangkali kamu murid dari ‘Amir bin ‘Ubaid. Mudah-mudahan Allah
melaknat ‘Amr bin ‘Ubaid karena dialah yang membuat bid’ah Ilmu Kalam.
Seandainya kalam itu merupakan Ilmu, tentulah para Sahabat dan Tabi’in sudah
membicarakannya, sebagaimana mereka juga berbicara masalah hukum (fiqih) dan
syari’ah.”[ Dzan Al-Kalam, lembar 173-B]
[6]. Imam al-Harawi meriwayatkan dari ‘Aisyah bin Abdul Aziz, katanya, saya
mendengar Imam Malaik berkata: “Hindarilah bid’ah”. Kemudian ada orang yang
bertanya, “Apakah bid’ah itu, wahai Abu Abdillah?”. Imam Malik menjawab:
“Penganut bid’ah itu adalah orang-orang yang membicarakan masalah nama-nama
Allah, sifat-sifat Allah, kalam Allah, ilmu Allah, dan qudrah Allah. Mereka
tidak mau bersikap diam (tidak memperdebatkan) hal-hal yang justru para Sahabat
dan Tabi’in tidak membicarakannya.” [Ibid, lembar 173]
[7]. Imam Abu Nu’aim meriwayatkan dari Imam Syafi’i, katanya, Imam Malik bin
Anas, apabila kedatangan orang yang dalam agama mengikuti seleranya saja, beliau
berkata: “Tentang diri saya sendiri, saya sudah mendapatkan kejelasan tentang
agama dari Tuhanku. Sementara anda memilih ragu-ragu. Pergilah saja kepada
orang-orang yang masih ragu-ragu, dan debatlah dia.”[ Al-Hilyah, VI/324]
[8]. Imam Ibn ‘Abdil Bar meriwayatkan dari Muhammad bin Ahmad al-Mishri
al-Maliki, di mana ia berkata dalam bab al-Ijarat dalam kitab al-Khilaf, Imam
Malik berkata: “Tidak boleh menyebarkan kitab-kitab yang ditulis oleh
orang-orang yang dalam beragama hanya mengikuti selera, bid’ah dan klenik; dan
kitab-kitab itu adalah kitab-kitab penganut kalam, seperti kelompok Mu’tazilah
dan sebagainya.”Jami' Bayan al-'Ilm wa Al-Fadhilah, hal. 416-417]
Dan Itulah sekilas tentang sikap Imam Malik bin Anas dan pendapat-pendapat
beliau tentang masalah Tauhid, Sahabat, Imam, Ilmu Kalam dan Lain-lain
PENDAPAT IMAM MALIK TENTANG IMAN
[1]. Iman Ibn ‘Abdil Bar meriwayatkan dari ‘Abd ar-Razzaq bin Hammad, katanya: “Saya mendengar Ibn Juraij, Sufyan bin ‘Uyainah dan Anas bin Malik, mengatakan: “Iman itu adalah ucapan dan perbuatan, bertambah dan berkurang.” [Al-Intiqa' hal. 34]
[2]. Imam Abu Nu’aim meriwayatkan dari Abdullah bin Nafi’, katanya: “Imam Malik bin Anas pernah berkata: “Iman itu adalah ucapan dan perbuatan.” [Al-Hilyah, VI/327].
[3]. Imam Ibn ‘Abdil Bar meriwayatkan dari Asyhab bin Abdul Aziz, katanya, Imam Malik berkata: “Ketika umat Islam shalat dengan menghadap ke baitul Maqdis selama enam belas bulan, mereka kemudian diperintahkan untuk menghadap ke Masjidil Haram pada waktu shalat. Kemudian turun ayat:
“Artinya : Allah tidak akan menyia-nyiakan iman kamu.” [Al-Baqarah : 143]
Maksud “iman” dalam ayat itu adalah “shalat dengan menghadap keBaitul Maqdis.” Kata Imam Malik lagi, “Menurut paham golongan Murji’ah shalat itu tidak termasuk iman.” [Al-Intiqa' hal. 34]
PENDAPAT IMAM MALIK TENTANG TAUHID
[1]. Al-Harawi meriwayatkan dari Imam Syafi’i bahwa Imam Malik pernah ditanya tentang Ilmu Tauhid. Jawab beliau: “Sangat tidak mungkin bila ada orang menduga bahwa Nabi Muhammad Shallalahu alaihi wa sallam mengajari umatnya tentang cara-cara bersuci tetapi tidak mengajari masalah tauhid. Tauhid adalah apa yang disabdakanNabi Shallalahu alaihi wa sallam, “Saya diperintahkan untuk memerangi manusia sampai mereka mengucapkan la ilaha illallah (tidak ada Tuhan selain Allah).” [Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Bukhari III/262. Imam Muslim I/51. Imam An-Nasa'i V/14 dan Imam Abu Daud III/101]
Maka sesuatu yang dapat menyelamatkan harta dan nyawa (darah) maka hal itu adalah tauhid yang sebenarnya. [Dzam Al-Kalam, lembar 210]
[2]. Imam adh-Daruquthni meriwayatkan dari al-Wahid bin Muslim, katanya: “Saya bertanya kepada Malik, ats-Tsauri, al-Auza’i dan al-Laits bin Sa’ad tentang hadits-hadits mengenai sifat-sifat Allah. Mereka menjawab: ”Jalankanlah (baca dan pahami) seperti apa adanya.” [Ad-Daruquthni. Ash-Shifat, hal. 75 Al-Ajiri, Asy-Syari'ah, hal. 314. Al-Baihaqi, Al-I'tiqad, hal.118]
[3]. Imam Ibn ‘Abdil Bar juga menuturkan bahwa Imam Malik pernah ditanya: “Apakah Allah dapat dilihat pada hari kiamat?” Beliau menjawab: “Ya, dapat dilihat. Karena Allah berfirman :
“Artinya : Wajah-wajah orang mu’min itu pada hari kiamatberseri-seri, kepada Tuhannya wajah-wajah itu melihat.” [Al-Qiamah, 22-23]
Dan Allah telah berfirman tentang golongan lain:
“Artinya : Tidak demikian. Mereka (orang-orang kafir) itu pada hari kiamat benar-benar terhalang hijab (tabir), tak dapat melihat Tuhan mereka.” [Al-Muthaffifin : 15]
Qadhi ‘Iyadh juga menuturkan dalam kitab Tartib al-madarik, II/42, dari Ibn Nafi’ [1] dan Asyhab [2], keduanya berkata, “wahai Abu Abdillah –panggilan akrab Imam Malik-, apakah benar orang-orang mu’min dapat melihat Allah?”, “Ya, dengan kedua mata ini”, jawabImam Malik. Kemudian salah seorang dari kedua orang itu berkata, “Ada sementara orang yang berkata bahwa Allah itu tidak dapat dilihat. Kata “nadhorot” dalam ayat itu yang secara kebahasaan berarti “melihat” maksudnya adalah “menungu pahala”. Imam Malik menjawab: “Tidak benar mereka”. Yang benar adalah Allah dapat dilihat. Apakah kamu tidak membaca firman Allah tentang Nabi Musa:
“Artinya : Wahai Tuhanku, perlihatkanlah kepadaku, agar dapat melihat-Mu.” [Al-‘Araf : 143]
Apakah kamu kira Nabi Musa itu memohon sesuatu yang mustahil dari Tuhanna? Allah kemudian menjawab:
“Artinya : Kamu tidakk akan dapat melihat Aku.” [Al-‘Araf : 143]
Maksudnya, Nabi Musa tidak dapat melihat Allah di dunia, karena dunia itu tempat kehancuran, dan tidak mungkin sesuatu uang kekal dapat dilihat dengan sesuatu yang dapat hancur. Apabila manusia sudah sampai ke Akhirat (tempat yang kekal), maka mereka dapat melihat sesuatu yang kekal (Allah) dengan sesuatu yang dikekalkan (tubuh manusia di Akhirat)
[4]. Abu Nu’aim juga menuturkan dari ja’far bin Abdillah, katanya: “kami berada di rumah Malik bin Anas. Kemudian ada orang yang dating dan bertanya: “wahai Abu Abdillah –panggilan akrab Imam Malik- Allah ar-Rahman bersemayam (istawa) di atas ‘Arsy. Bagaimana Allah bersemayam?”
Mendengar pertanyaan itu, Imam Malik marah. Beliau tidak pernah marah seperti itu. Kemudian beliau melihat ke tanah ssambil memegang-megang kayu di tangannya, lalu beliau mengangkat kepala beliau danmelempar kayu tersebut, lalu berkata, “cara Allah beristiwa’ tidaklah dapat dicerna dengan akal, sedangkan istiwa’ (bersemayam) itu sendiri dapat dimaklumi maknanya. Sedangkan kita wajib mengimaninya, dan menanyakan hal itu adalah bid’ah. Dan saya kira kamulah pelaku bid’ah itu. Kemudian Imam Malik menyuruh orang itu agar dikeluarkan dari rumah beliau.” [Al-Hilyah, VI/325-326. Ash-Shabuni, Aqidah As-Salaf Ash-hab Al-Hadits, hal. 17-18. Ibn Abd Al-Bar, At-Tamhid, VII/151, Al-Baihaqi, Al-Asma Wa Ash-Shifat, hal. 408. Ibn Hajar, Fath Al-Bari, XIII/406-407]
[5]. Imam Abu Nu’aim meriwayatkan dari Yahya bin ar-Rabi’, katanya: “saya berada di rumah Malik, kemudianada seorang dating dan bertanya, “Wahai Abdillah –panggilan akrab Imam Malik- apa pendapat anda tentang orang yang menyatakan bahwa al-qur’an itu makhluk?”
Imam Malik menjawab: “Dia itu kafir zindiq, bunuhlah dia.” Orang tadi bertanya lagi, “Wahai Abdillah, saya hanya sekedar menceritakan pendapat yang pernah saya dengar.” Imam Malik menjawab: “Saya tidak pernah mendengar pendapat itu dari siapapun. Saya hanya mendengar itu dari kamu.” [Al-Hilyah VI/325. Al-Lalikai, Syarh Ushul I'tiqad Ahlus Sunnah Wal Jama'ah, I/249. Al-Qadhi Iyadh, Tartib Al-Madarik, II/44.]
[6]. Imam Ibn ‘Abdil Bar meriwayatkan dari ‘Abdullah bin Nafi’, katanya: “Imam Malik bin Anas mengatakan, siapa yang berpendapat bahwa al-Qur’an itu makhluk dia harus dihukum cambuk dan dipenjara sampai dia bertaubat.” [Al-Intiqa' hal.35]
[7]. Imam Abu Daud juga meriwayatkan dari Abdullah bin Nafi’, katanya: “Imam Malik berkata, ‘Allah di langit, dan ilmu (pengetahuan) Allahmeliputi setiap tempat.” [Abu Daud, Masail Al-Iman Ahmad, hal. 263. Abdullah bin Ahmad, As-Sunnah hal. 11 Ibn Abd Al-bar, At-Tamhid VII/138]
PENDAPAT IMAM MALIK TENTANG QADAR
[1]. Imam Abu Nu’aim meriwayatkan dari Ibn Wahb, katanya: “Saya mendengar Imam Malik berkata kepada seseorang, “Kemarin kamu bertanya kepada saya tentang qadar bukankah begitu?”. “Ya”, jawab orang itu. Imam Malik berkata, “Sesungguhnya Allah berfirman:
“Artinya : Sekiranya kamu menghendaki, Kami akan memberikan petunjuk kepada semua orang. Tetapi telah tetaplah keputusan-Ku, bahwa Aku akan memenuhi neraka Jahannam dengan jin dan manusia semuanya.” [As-Sajdah : 13]
Maka tidak boleh tidak, ketetapan Allahlah yang berlaku.” [Al-Hilyah VI/396]
[2]. Qadhi “Iyadh berkata: “Imam Malik pernah ditanya tentang kelompok Qadariyah, siapakah mereka itu? Beliau menjawab: “Mereka itu adalah orang-orang yang mengatakan bahwa Allah itu tidak menciptakan maksiat.” Beliau ditanya pula tentang Qadariyah. Jawab beliau: “Mereka adalah orang-orang yang berpendapat bahwa manusia itu mempunyai kemampuan. Apabila mereka mau, mereka dapat menjadi orang-orang taat atau menjadi orang-orang yang durhaka.” [Tartib Al-Madarik II/48. Syarh Ushul I'tiqad Ahlus Sunnah Wal -Al-Jama'ah II/701]
[3]. Ibn Abi ‘Ashim meriwayatkan dari Sa’ad bin ‘Abd al-Jabbar, katanya: “Saya mendengar Imam Malik bin Anas berkata: “Pendapat saya tentang kelompok qadariyah adalah, mereka itu disuruh bertaubat. Apabila tidak mau, mereka harus dihukum mati.”[ Ibn Abi Ashim, As-Sunnah, I/87-88, Al-Hilyah VI/326]
[4]. Imam Ibn ‘Abdil Bar berkata: “Imam Malik pernah berkata: “saya tidak pernah melihat seorangpun dari orang-orang yang berbicara masalah qadar dan ia tidak bertaubat.” [Al-Intiqa, hal.34]
[5]. Imam Ibn Abi ‘Ashim meriwayatkan dari Marwan bin Muhammad at-tatari, katanya: “saya mendengar Imam Malik bin Anas ditanya tentang hal menikah dengan seseorang penganut paham Qadariyah. Kata beliau seraya membaca ayat al-Qur’an:
“Artinya : Seorang hamba sahaya yang beriman lebih baik daripada seorang musyrik.” [Al-Baqarah : 221] [Ibn Abi Ashim, As-Sunnah I/88 Al-Hilyah, VI/326]
[6]. Qadhi ‘Iyadh menuturkan bahwa Imam Malik menyatakan: “Kesaksian penganut paham Qadariyah yang menyebarkan pahamnya yang bid’ah itu tidak dapat dibenarkan. Begitu pula penganut golongan Khawarij dan penganut paham Rafidhah (Syi’ah).” [Tartib Al-Madarik II/47]
[7]. Qadhi ‘Iyadh juga menuturkan, bahwa Imam Malik pernah ditanya tentang penganut Qadariyah, apakh kita tolak pendapat-pendapatnya? Jawab beliau: “Ya, bila ia mengetahui hal itu.” Dalam suatu riwayat Malik berkata: “Tidak boleh shalat menjadi makmum di belakang penganut paham Qadaritah, dan hadits yang ia riwayatkan harus ditolak. Apabila kamu menemukan mereka di suatu tempat persembunyiannya, keluarkanlah mereka.” [Tartib Al-Madarik, II/47]
Cobaan Beliau
Ibnu Jarir berkata, ”Malik pernah dipukul dengan cambuk.” Kemudian Ibnu Jarir membawakan sanadnya sampai Marwan ath-Thathari bahwasanya Abu Ja`far al-Manshur melarang Malik menyampaikan haditst, ’Tidak ada thalaq bagi orang yang dipaksa.‘ Kemudian ada orang yang menyelundup di majelisnya menanyakan hadits tersebut hingga Malik menyampaikannya di depan manusia, maka Abu Ja`far kemudian mencambuk Malik.”
Muhammad bin Umar berkata, ”Sesudah kejadian tersebut Malik semakin naik derajatnya di mata manusia.”
Azd-Dzahabi berkata, ”Inilah buah dari pujian yang terpuji, akan mengangkat kedudukan hamba di sisi orang-orang yang beriman.”
Tulisan-Tulisan Beliau
Di antara tulisan-tulisan beliau adalah al-Muwaththa’ yang dikatakan oleh al-Imam asy-Syafi`i, “Tidak ada kitab dalam masalah ilmu yanng lebih banyak benarnya dibandingkan dengan Muwaththa’ karya Malik.” Tulisan lainnya, sebuah Risalah mengenai Qadar yang dikirimkan kepada Abdullah bin Wahb, an-Nujum wa Manazilul Qamar yang diriyawatkan oleh Sahnun dari Nafi` dari beliau, sebuah Risalah mengenai Aqdhiyah (Hukum Peradilan), Juz dalam Tafsir, Kitabus Sirr, Risalah ila Laits fi Ijma` Ahlil Madinah dan yang lainnya.
Wafat Beliau
Al-Imam Malik wafat di pagi hari 14 Rabi`ul Awwal tahun 179 H di Madinah dalam usia 89 tahun. Semoga Allah meridhainya dan menempatkannya dalam keluasan jannah-Nya.
Foot Note :
[1]. Ada dua orang yang bernama Ibn Nafi’, dua-duanya meriwayatkan dari Imam Malik. Yang Pertama bernama Abdullah bin Nafi’ bin Tsabit Az-Zubairi (wafat 216H). Yang kedua adalah Abdullah bin Nafi’ bin Abu Nafi’ Al-Makhzumi (wafat 206), Tahdzib At-Tahdzib VI/50-51
[2]. Asyhab bin Abd Al-Aziz bin Daud Al-Qaisi (wafat 204H), Ibid I/359
Sumber:
#Majalah Al-Furqan edisi 9, tahun V, Rabi`uts Tsani 1427/Mei 2006
#[http://almanhaj.or.id/ ]: Disalin dari kitab I’tiqad Al-A’immah Al-Arba’ah edisi Indonesia Aqidah Imam Empat (Abu Hanifah, Malik, Syafi’i, Ahmad), Bab Aqidah Imam Malik bin Anas Hanifah, oleh Dr. Muhammad Abdurarahman Al-Khumais, Penerbit Kantor Atase Agama Kedutaan Besar Saudi Arabia Di Jakarta

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan anda berkomentar, namun tetap jaga kesopanan dengan tidak melakukan komentar spam.