إِنَّ أَصْدَقَ الْحَدِيثِ كِتَابُ اللَّهِ وَأَحْسَنَ الْهَدْيِ هَدْيُ مُحَمَّدٍ وَشَرُّ الْأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا وَكُلُّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ وَكُلُّ ضَلَالَةٍ فِي النَّارِ (رواه النسائي

"Sebenar-benar perkataan adalah Kitab Alloh (Al-Quran), dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad dan seburuk-buruk perkara adalah perkara yang baru (muhdats), dan setiap perkara yang baru (muhdats) adalah bid'ah, dan setiap bid'ah adalah sesat, dan setiap kesesasatan tempatnya neraka"

Selasa, 30 November 2010

SUNNAH DAN BID'AH SEPUTAR ADZAN DAN IQOMAT


Oleh: Ustadz Abu Ubaidah Yusuf bin Mukhtar as-Sidawi hafizhahullah

Adzan merupakan salah satu ibadah dan syiar Islam yang sangat nampak. Kalimat-kalimat dalam Adzan adalah mutiara tauhid dan keimanan yang sangat dahsyat. Dia dapat menggetarkan hati hamba yang bening. Apabila kita menelaah kitab-kitab hadits dan fiqih, niscaya akan kita temukan besarnya perhatian ulama tentang adzan dan iqomat. Hal ini tidak lain karena pentingnya syiar ini. Berikut ini beberapa hal-hal penting yang ingin kami sampaikan seputar sunnah-sunnah dan bid’ah-bid’ah dalam adzan dan iqomat. Pembahasan ini disarikan dari kitab penulis “Panduan Praktis Adzan dan Iqomat Menurut Sunnah.” Semoga Allah memudahkan penerbitannya. Semoga kita dapat mengamalkan yang sunnah dan meninggalkan yang bid’ah. Amiin.



Sunnah-Sunnah Adzan dan Iqomat
Ada beberapa sunnah yang selayaknya bagi kta menghidupkannya dikarenakan masih banyak di antara manusia yang melalaikannya. Kami sebutkan sebagian diantaranya:
1. Lafadz Adzan Ketika Hujan
Ketika ada hujan atau angin kencang yang sekiranya memberatkan jama’ah untuk berangkat ke masjid, maka disyariatkan bagi mu’adzin untuk mengatakan “
ala sholluu fii rihalikum” yang artinya sholatlah di rumah-rumah kalian.
Hal ini berdasarkan hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam:
Dari Nafi’ bahwasanya Ibnu Umar pernah adzan pada suatu malam yang dingin dan berangin, lalu mengatakan: Sholatlah di rumah-rumah kalian. Kemudian dia mengatakan: Sesungguhnya Rasulullah memerintahkan mu’adzin apabila malam yang dingin dan hujan untuk mengatakan: Sholatkan di rumah-rumah kalian.” [1]
Timbul sebuah pertanyaan, kapankah mengucapkannya?! Dalam hal ini ada perselisihan: ada yang mengatakan setelah lafadz Asyhadu anna Muhammad Rasulullah sebagai ganti Hayya ‘alash sholah, ada yang mengatakan setelah Hayya ‘alal falah, ada yang mengatakan setelah usai adzan atau setelah lafadz Laa Ilaaha Illallah. Pendapat yang benar bahwa semuanya boleh karena semuanya ada dalilnya. [2]
2. Adzan Bagi Orang yang Shalat Sendirian
Hal ini berdasarkan hadits-hadits yang shohih. Diantaranya:

Dari Uqbah bin Amir radhiyallahu ‘anhu dia berkata: Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: Robbmu merasa takjub terhadap seorang penggembala kambing di puncak gunung, Dia adzan dan mengerjakan shalat. Maka Allah berfirman: Lihatlah hamba-Ku ini, dia mengumandangkan adzan dan shalat karena takut kepada-Ku. Sungguh Aku telah mengampuni hamba-Ku ini dan memasukkannya ke surga.” [3]
Syaikh al-Albani rahimahullah berkata: “Dalam hadits ini terdapat faedah dalam bab fiqih yang disunnahkannya adzan bagi orang yang shalat sendirian. Itulah bab yang dibuat oleh Imam an Nasa’i rahimahullah mengenai hal ini. Dan sungguh telah datang perintah untuk beradzan dan iqomat dalam sebagian jalan hadits musi’ sholat (orang yang jelek shalatnya). Maka tidak selayaknya bagi muslim untuk meremehkan perkara tersebut.” [4]
3. Jarak Antara Adzan dan Iqomat
Hendaknya ada jarak antara adzan dan iqomat agar jama’ah memiliki waktu untuk persiapan berupa wudhu, berjalan kemasjid, buang air dan sebagainya. Jangan setelah adzan langsung dikumandangkan iqomat. Kalau langsung iqomat tanpa jeda waktu, lantas apa faedahnya adzan?
Ingatlah bahwa kebanyakan orang tidak berangkat ke masjid kecuali setelah mendengar adzan.
Imam al-Bukhari membuat bab dalam Shohihnya “Berapa jarak antara adzan dan iqomat?” Lalu beliau membawakan hadits Abdullah bin Mughoffal:
Antara dua adzan adalah shalat.[5]
Hadits ini menjelaskan bahwa hendaknya di sana ada jarak antara adzan dan iqomat, sehingga seseorang bisa melakukan shalat sunnah terlebih dahulu.
Ibnu Bathol rahimahullah menukil dari sebagian fuqoha’ bahwa jarak antara keduanya tidak ada batasan tertentu, yang penting adalah berkumpulnya jama’ah shalat.[6] Tentunya hal ini berbeda-beda antara masjid dengan masjid lainnya, antara waktu shalat Subuh dan Maghrib misalnya, semuanya disesuaikan dengan kondisi jama’ah.
4. Mengucapkan Sebagaimana Yang Diucapkan Oleh Mu’adzin
Hal ini berdasarkan hadits Abu Sa’id al-Khudri:

Dari Abu Sa’id al-Khudri radhiyallahu ‘anhu bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: Apabila kalian mendengarkan adzan maka ucapkanlah sebagaimana yang diucapkan mu’adzin.“[7]
Hadits ini bersifat umum, tetapi telah shohih pengecualian dalam dua hal “hayya alash sholat” dan “hayya alal falah” dengan menjawab “La haula wa la quwata illa billah“, sebagaimana dalam hadits Umar bin Khoththob radhiyallahu ‘anhu.[8]
Dalam hadits ini, terdapat anjuran untuk menjawab adzan. Maka hendaknya bagi kita untuk menghidupkan sunnah yang banyak dilalaikan kaum muslimin ini. Aduhai, alangkah indahnya bila kita meniru para ulama dan orang-orang sholih dahulu. al-Hafidz Ibnu Hajar rahimahullah menceritakan dari Ibnu Juraij, dia berkata: “Saya mendapat cerita bahwa manusia (pada zamannya) mendengarkan mu’adzin, seperti mendengarkan bacaan, setiap para mu’adzin mengucapkan suatu kata mereka menirukannya.”[9]
5. Membaca Dzikir Setelah Syahadat
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

Dari Sa’ad bin Abi Waqqosh dari Rasulullah berkata: Barangsiapa yang berkata ketika mendengar mu’adzin: [asyhadu anla ilaaha illallah wahdahu la syarikalahu wa anna muhammadin 'abduhu wa rasuluh, radhiitu billahi rabba wabi muhammadin rasuula wabii islami diina] Saya Bersaksi bahwa tidak ada sesembahan yang berhak diibadahi kecuali hanya Allah saja tiada sekutu bagi-Nya dan bahwasanya Muhammad adalah hamba dan rosul-Nya, saya ridho Allah sebagai Rabbku dan Muhammad sebagai nabiku dan Islam sebagai agamaku, maka diampuni dosanya.[10]
Saudaraku, hidupkanlah sunnah yang hampir mati ini, semoga Allah azza wa jalla melipatgandakan pahala bagimu[11]. Adapun letaknya, para ulama berselisih apakah setelah syahadat ataukah setelah usai adzan. Kita berharap masalahnya mudah yakni boleh kedua-duanya. Hanya saja dalam riwayat Abu Awanah: 1/283-284 dijelaskan bahwa letaknya setelah syahadat sehingga hal itu lebih diutamakan.
6. Bersholawat atas Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam
Hal ini berdasarkan hadits Abdullah bin Amr bin Ash radhiyallahu ‘anhu:

Dari Abdullah bin Amr bin Ash radhiyallahu ‘anhu bahwasanya dia mendengar Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: Apabila kalian mendengarkan adzan maka ucapkanlah seperti yang diucapkan mu’adzin kemudian bersholawatlah kepadaku. Karena barangsiapa yang bersholawat kepadaku satu kali, Allah akan memberikan shalawat kepadanya sepuluh kali, kemudian mintalah kepada Allah wasilah karena itu adalah tempat disurga yang tidak layak kecuali untuk seorang hamba dari hamba-hamba Allah dan saya berharap sayalah yang mendapatkannya, maka barangsiapa yang memintakan untukku wasilah niscaya halal syafa’at baginya.[12]
Syaikh al-Albani rahimahullah berkata: “Dalam hadits ini ada tiga sunnah yang sering dilalaikan oleh kebanyakan manusia, yaitu menjawab adzan, sholawat kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam usai menjawab dan memintakan wasilah untuk beliau shallallahu ‘alaihi wasallam. Anehnya, engkau perhatikan sebagian orang yang meremehkan sunnah-sunnah ini adalah orang yang sangat fanatik memperjuangankan bid’ahnya sholawat mu’adzin secara secara keras usai adzan, padahal hal tersebut merupakan kebid’ahan dalam agama dengan kesepakatan ulama. Kalau mereka melakukan hal itu dengan alasan cinta Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam lantas kenapakah mereka tidak menghidupkan sunnah ini dan meninggalkan bid’ah tersebut?!. Kita memohon hidayah.”[13]

Bid’ah-Bid’ah Seputar Adzan dan Iqomat
Adzan merupakan ibadah, maka harus ada dalilnya dari al-Qur’an dan as-Sunnah yang shohih. Oleh karena itu wajib bagi seorang muslim untuk mengingkari setiap bentuk ibadah yang tidak ada dalilnya dalam al-Qur’an dan as-Sunnah yang shohih.
Pada masa sekarang ini, banyak mu’adzin yang melakukan berbagai amalan yang tidak ada asalnya karena sudah dianggap sebagai sunnah dan suatu kebenaran. Sehingga apabila ditinggalkan mereka mengatakan: “Islam telah dilalaikan.” Berikut ini beberapa contoh bid’ah seputar adzan yang populer dinegeri kita:
1. Memutar Murottal al-Qur’an, Dzikir dan Sholawatan Sebelum Shalat.
Dalam banyak masjid, biasanya beberapa menit sebelum adzan, khususnya sholat Subuh dan sholat Jum’at, diputar terlebih dahulu murottal al-Qur’an. Dzikr-dzikir atau sholawat-sholawat sebagai pengantar adzan dan peringatan kepada manusia bahwa adzan telah dekat.
Hal ini sekalipun dipandang baik oleh perasaan banyak orang, akan tetapi tidak ada dalilnya darial-Qur’an, hadits dan amalan generasi salaf sholih, bahkan tergolong perkara baru dalam agama. Para ulama telah menghukumi hal ini termasuk perbuatan munkar dan bid’ah. al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah berkata: “Apa yang diada-adakan dari tasbih sebelum Subuh dan Jum’at serta ‘sholawatan’, bukanlah termasuk adzan baik secara bahasa maupun secara syar’i.” [14]
Lantas, bagaimana lagi kiranya bila hal itu dengan menggunakan pengeras suara?!! Bukankah itu berdampak negatif bagi orang yang mau menggunakan akalnya?!
2. Menabuh Beduk Sebelum Adzan
Dinegeri kita, sebelum adzan dikumandangkan biasanya mu’adzin terlebih dahulu memukul beduk atau kentongan beberapa pukulan, padahal sebagaimana dimaklumi bersama beduk adalah alat musik dan senda gurau. Lantas pantaskan alat tersebut digunakan untuk memanggil manusia untuk sholat?! Lantas apakah perbedaannya dengan lonceng atau terompet yang ditolak oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam karena hal itu adalah tradisi Yahudi dan Nashoro?! Tidak ragu lagi bahwa penggunaan  beduk sebelum adzan termasuk kemungkaran dan kebid’ahan dalam agama. Maka hendaknya dicukupkan dengan adzan aja tanpa tambahan. Wahai kaum muslimin, marilah kita beragama berdasarkan tuntunan agama, bukan dengan adat istiadat yang tidak ada dalilnya. [15]
3. Mengeraskan Sholawat Setelah Adzan
Dalam banyak masjid, sang mu’adzin biasanya usai adzan dia mengeraskan sholawat seakan-akan bagian dari adzan. Tidak ragu lagi bahwa sholawat kepada Nabi pada asalnya disyariatkan tetapi sholawatan dengan tata cara seperti itu tidak ada tuntunannya dari Nabi dan para sahabat. Oleh karena itu, para ulama bersepakat bahwa hal itu tersebut termasuk kemungkaran dan kebid’ahan.
Ibnu Hajar al-Haitsami rahimahullah berkata: “Guru-guru kami dan selain mereka telah ditanya tentang sholawatan kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam setelah adzan seperti yang biasa dilakukan mayoritas mu’adzin. Mereka semua memfatwakan bahwa asalnya adalah sunnah tetapi kaifiyah (tata cara) yang digunakannya adalah bid’ah.” Lanjutnya, “Hal itu karena adzan merupakan syiar Islam yang dinukil secara mutawatir sejak masa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan kata-katanya telah terhimpun dalam kitab-kitab hadits dan fiqih, disepakati oleh para imam kaum muslimin dari Ahli Sunnah wa Jama’ah. Adapun tambahan sholawat dan salam di akhirnya, maka itu merupakan kebid’ahan yang dibuat-buat oleh orang-orang belakangan.” [16]
4. Adzan Di Kuburan
Sebagian Syafi’iyyah belakangan mengatakan bahwa adzan di kuburan ketika menguburkan mayit hukumnya adalah sunnah dengan alasan qiyas (analogi) kepada masalah sunnahnya adzan di telinga bayi yang baru lahir. Kata mereka, “Kelahiran adalah awal keluar menuju dunia sedangkan menguburkan mayit adalah awal keluar dari dunia, maka pembukaannya dianalogikan dengan penutupannya.” [17]
Pendapat ini diingkari oleh para ulama Hanafiyyah, Malikiyyah dan Syafi’iyyah, mereka menegaskan bahwa adzan dikuburan termasuk perkara bid’ah karena tidak ada dalilnya dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam , para sahabat atau seorang pun dari salaf sholih. Dan sebagaimana dimaklumi bahwa perbuatan seperti ini tidak bisa ditetapkan kecuali berdasarkan dalil karena adzan adalah ibadah sedangkan ibadah harus dibangun di atas dalil.
Adapun analogi mereka kepada masalah adzan di telinga bayi saat baru lahir, maka ini adalah analogi bathil karena ibadah itu dibangun di atas dalil, bukan berdasarkan hawa nafsu dan perasaan, terlebih lagi analogi semacam ini jauh sekali. Dari segi manakah persamaan antara kelahiran dan menguburkan mayit di kubur. Sekedar ini di awal dan itu di akhir bukan berarti harus sama.” [18]
Dari sini maka jelaslah bagi kita bahwa adzan ketika menguburkan mayit tidaklah disyariatkan, bahkan termasuk perkara bid’ah yang tercela.[19]
Demikian beberapa contoh bid’ah seputar masalah ini. Sebenarnya, masih banyak lagi lainnya tetapi kami tidak ingin memperpanjang jumlah halaman, [20] apalagi sebagian besarnya kurang populer dinegeri kita. Kita memohon kepada Allah azza wa jalla agar dihindarkan darinya dan memberi hidayah kepada saudara-saudara kita yang masih bersiteguh mempertahankannya. Amiin.

Note:
[1] HR.al-Bukhari 666 dan Muslim 697
[2] Liat Syarh Muslim oleh an-Nawawi 5/207
[3] HR.Abu Dawud 1203, an-Nasa’i 664, Ahmad 4/145, 157, 158 dan dishohihkan al-Albani dalam Irwa’ul Gholil no.214 dan Silsilah  ash-Shohihah no.41
[4] Silsilah Ahadits ash-Shohihah no.41
[5] HR.al-Bukhari 601
[6] Syarh al-Bukhari 2/252
[7] HR.Muslim 383
[8] HR.Muslim 385
[9] Fathul Bari 2/109
[10]HR.Muslim 386
[11] Lihat al-Washiyyah bi Ba’dhi Sunan Syibhil Mansiyyah hal.52-53 oleh Haifa’ binti Abdullah ar-Rosyid
[12] HR.Muslim 384
[13] Ta’liq Fadhlush Sholah ‘ala Nabi hal.49-50
[14] Fathul Bari’: IIII 2/99
[15] Lihat 
al-Burhanul Mubin fi Tashoddi lil Bida’ wal Abathil: 1/294 oleh al-Asyrof bin Ibrohim
[16] 
Al-Fatawa al-Kubro al-Fiqhiyyah: 1/191
[17] 
Tuhfatul Muhtaj: 1/461
[18] 
Al-Fatawa Al-Kubro: 2/24, Ibnu Hajar al-Haitsami
[19] Dinukil dari 
Ahkamul Maqobir fi Syariah Islamiyyah hal.370 oleh Dr.Abdulloh as-Sahyibani
[20] Lihat 
Islahul Masajid hal.114-130 oleh Muhammad Jamaluddin al-Qosini, as-Sunan wal Mubtada’at hal.57-61 oleh Muhammad asy-Syuqoiri, as-Sunan wal Mubtada’at hal.114-117 oleh ‘Amr bin Abdul Mun’im
Sumber: Diketik ulang dari Majalah al Furqon Edisi 5, Tahun Kesembilan, Dzulhijjah 1430 / Nov-Des 2009, Hal.42-45
Dipublikasikan kembali oleh : Al Qiyamah – Moslem Weblog


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan anda berkomentar, namun tetap jaga kesopanan dengan tidak melakukan komentar spam.